Selasa, 16 Desember 2014
alqalam: Membaca dan Menulis Sebagai Amal Saleh
alqalam: Membaca dan Menulis Sebagai Amal Saleh: Apapun yang Anda kerjakan, di sisi Allah termasuk amal. Dan akan dipertanggungjawabkan di sisiNya. Amalan kecil akan bernilai ibadah,jik...
Senin, 08 Desember 2014
Membangun kecerdasan Ruhani Melalui Pendidikan
Oleh : Syafruddin Nur
S.Pd
Pengawas
Dinas Pendidikan Kota Pariaman
“Di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika daging itu baik,baiklah
seluruh tubuh. Jika daging itu rusak,rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah
bahwa sesungguhnya dia itu adalah hati.”
(al Hadist)
Merujuk kepada hadis di atas,keberhasilan pendidikan itu bukan terletak
pada kecerdasan otak,melainkan pada hati. Di sini bukan berarti bahwa
otak tidak dipentingkan. Otak itu penting. Tapi kalau pendidikan itu
hanya mengutamakan otak,berarti baru mencerdaskan satu dimensi kehidupan
yaitu dimensi intelektual. Pendidikan yang hanya mengutamakan sisi
intelektual,membuat seorang menjalani kehidupan yang pincang. Orang
yang cerdas secara intelektual belum dapat dijamin berhasil dalam
kehidupan.
Selama ini kita masih bertahan bahwa jumlah anak-anak yang lulus
di sebuah sekolah tanda keberhasilan. Kalau di SMA/SMK jika banyak
siswanya yang diterima di perguruan tinggi itu menandakan sekolah itu
telah berhasil. Ukuran yang digunakan baru sebatas kecerdasan
intelektual. Bagaimana pribadi siswa yang berhasil, itu ukuran lain.
Apakah siswa tersebut dapat mengatasi problem hidupnya dengan
sabar,kreatif dan bertanggung jawab belum menjadi ukuran saat ini.
Inilah kelemahan-kelemahan pendidikan kita saat ini.
Kalau kita mengukur
keberhasilan anak didik hanya dari segi intelektual, pantas saja
tawuran antar siswa sulit untuk dihentikan. Karena bisa jadi siswa yang
tawuran itu otaknya cerdas tapi kecerdasan emosional dan spritualnya
lemah.
Jadi pendidikan itu bertujuan untuk memanusiakan manusia.
Maksudnya bagaimana manusia yang dididik dalam lembaga pendidikan itu
bersikap layaknya sebagai manusia. Sikap-sikap manusia yang harus
dimiliki seorang anak didik itu adalah santun,ramah, sabar,cerdas
,percaya pada diri sendiri,tidak kasar, tidak suka kekerasan dan sifat
lain yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Manusia Indonesia yang
didik di sekolah itu,akan mengalami kesimbangan hidup antara dunia dan
akhirat. Keseimbangan antara intelektual dengan emosional dan spritual.
Manusia yang bukan hanya cerdas secara intelektual tapi juga berbudi
pekerti luhur. Manusia yang tidak hanya berpengetahuan tetapi juga
terampil dalam memecahkan masalah kehidupan.
Agar pendidikan itu bisa meningkatkan kualitas kehidupan, perlu
dilengkapi dengan sisi emosional dan spritual. Sisi emosional akan
memberikan sikap jujur,pengendalian diri,kreatif, menjalin untuk saling
mempercayai. Sedangkan sisi spritual akan menanamkan sikap bahwa ada
kekuatan yang paling tinggi dalam menentukan hidup,menjadikan makhluk
yang berkutahanan,dimensi spritual juga berupaya untuk mempertahankan
keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar,berjuang untuk menjawab
atau mendapatkan kekuatan etik sedang menghadapi stres.
Persoalan-persoalan hidup tidak hanya bisa diatasi melalui
dimensi intelektual. Tetapi juga harus melibatkan dimensi emsional dan
spritual. Dengan menanamkan dimensi emosional dan spritual kehidupan
akan mendapatkan nilai-nilai positif. Nilai positif itu bukan hanya
cerdas secara intelektual tapi bisa mengatasi masalah kehidupan yang
dihadapi. Bukan menyelesaikannya dengan kekerasan tetapi bagaimana
mengambil hikmah dari peristiwa yang terjadi. Persoalan itu dihadapi
dengan hati yang dingin sambil meminta pertolongan kepada sang Khalik.
Berdoa dan meminta kepada sang Khalik adalah menyandarkan hati ke
tonggak yang kokoh. Inilah cara mengatasi persoalan hidup yang akan
dapat meneyelesaikan masalah secara bijak. Dibimbing oleh ketenangan
hati sambil mencari jalan terbaik yang dibimbing oleh nilai-nilai agama.
Selama ini kita memberikan pendidikan intelektual lebih dominan kepada
siswa. Sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupannya. Mereka
lebih mengutamakan intelektualnya dari pada dimensi emosional dan
spritual. Jadilah anak didik menjadi pincang. Mereka cakap dalam
belajar tapi tidak cakap mengenali diri sendiri. Mereka lebih mengenal
duina luar daripada mengenal dirinya sendiri.
Permasalahan lain yang dihadapi oleh anak didik di sekolah adalah
keringya nilai-nilai sosial dan keruhanian. Mungkin konsep-konsep
tentang sosial ada. Pendidikan yang membicarakan keruhanian juga ada.
Tapi hal ini belum terlihat nyata di hadapan mereka. Sebagian guru
mereka belum bisa dipedomani untuk dijadikan teladan dalam tindakan
sosial dan keruhanian. Mereka butuh vigur yang bisa mereka jadikan
panutan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menginginkan bahwa keadilan
sosial yang mereka ucapkan dalam upacara itu hendaknya teraplikasi di
sekolah sebagai lembaga yang menciptakan manusia yang terdidik. Dengan
kata lain sekolah belum memperlihatkan suatu budaya edukatif di
lingkungan pendidikan. Hal ini terlihat dalam sikap guru ketika menegur
anak. Masih banyak guru yang menegur anak dengan hardikan beserta
ucapan-ucapan yang tidak mendidik. Cara seperti ini bukan membuat anak
berubah ke arah yanglebih baik malah membuat siswa melawan atau
mencemoohkan guru.
Pendidikan kita dari masa ke masa tetap saja punya borok-borok.
Bertambah lama borok itu makin melebar. Borok lama belum sembuh timbul
lagi borok baru yang lebih parah. Dr Slamet Iman Santoso mengemukakan
borok-borok ini dalam bukunya “Pendidikan Indonesia Dari Masa ke Masa:
“Dari segi moral sistem pendidkan yang dilaksanakan di Indonesia
sekarang ini,belum lagi menunjukkan hal yang menggembirakan. Ini
terbukti makin hari keluhan tingkah laku mereka yang terdidik dari SD
sampai perguruan tinggi cukup menimbulkan kerisauan kalau belum boleh
disebut mengkahawatirkan. Pendidikan zaman Belanda lebih baik dari
zaman sekarang. Moral dan Nation Building lebih tumbuh di zaman
Belanda.(hl.174)
Bukan berarti kita tidak punya konsep tentang pendidikan yang baik.
Kita sudah punya Undang-undang sistem pendidikan yang bagus. UU No2/1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Bab II pasal 4 menyatakan
tujuan pendidikan nasional sbb: “Pendidikan nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya,yaitu manusia berbudi pekerti yang luhur,memiliki pengetahuan
dan keterampilan ,kesehatan jasmani dan rohani,kepribadian yang mantap
dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”
Melihat kepada tujuan pendidikan di atas,pendidikan kita jelas arah dan
tujuannya. Pendidikan yang akan membangun anak didik menjadi cerdas.
Seimbang antara jasmani dan ruhani. Menjadikan putra-putri Indonesia
yang berjiwa dan berbudi pekerti yang luhur. Dengan kata lain pendidikan
di Indonesia akan memberi keseimbangan kepada anak didik antara
intelektual,emosional dan spritual.
Kalau kita lihat kenyataan yang ada, tujuan itu belum tercapai.
Kita
sudah 65 tahun merdeka tetapi masalah pendidikan kita seperti lingkaran
setan. Kita dihadapakan kepada masalah anak didik yang suka
kekerasan,tawuran dan berbagai prilaku negatif lainnya. Berarti ada yang
salah dalam sistem pendidikan kita. Konsep sudah betul. Biasanya
konsep yang baik akan melahirkan hasil yang baik. Tetapi kita telah
menelan pil pahit. Antara konsep dan hasil jauh berbeda.
Menurut penulis, ada yang salah dalam melaksanakan konsep itu.
Kita belum melaksanakan konsep itu dengan hati. Hati kita masih terpecah
antara konsep dan pelaksanaannya. Kita menginginkan hasil pendidikan
itu melahirkan anak yang jujur,cerdas,berbudi pekerti luhur. Sementara
di tengah masyarakat,prilaku jujur dan berbudi pekerti yang baik sulit
ditemukan. Anak didik kita kehilangan arah. Mereka belum menemukan figur
yang bisa diteladani dalam semua aspek kehidupan. Prilaku jujur itu
hanya baru dalam ucapan. Tetapi belum teraplikasi dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa.
Dari segi berbicara saja,sebagian para pemimpin kita,belum bisa
diteladani. Perhatikanlah perdebatan elit politik yang ditayangkan di televisi.
Apakah sudah ada cara berbicaranya yang bisa dijadikan contoh. Apalagi kalau
kita lihat anggota dewan yang berbicara. Belum bisa dijadikan politisi
itu berbicara santun,menghormati lawan bicara,memberikan argumen tanpa
melukai perasaan lawan bicara.
Bagaimana kita akan mengatakan kepada
anak didik bahwa berbicara itu harus dengan santun,menyentuh
hati,menggunakan kata-kata yang positif. Kita mengajarkan kepada mereka
bahwa cara berdiskusi yang baik itu argumennya kuat,tidak
melecehkan lawan bicara dan lain-lain. Ini
jelas akan menjauhi anak didik dari tujuan pendidikan.
Begitu juga di tengah masyarakat,anak didik itu diharapakan menjadi
bersikap sopan,tidak egois,apalagi melakukan kekerasan. Di hadapan
mereka,melalui televisi, setiap hari disuguhkan berita-berita perampokan,pertengkaran , debat kusir
,penodongan,perkosaan,pembunuhan dan penjarahan. Apakah ini merupakan
hal-hal yang mendidik?
Menurut penelitian Mulyono W Kusumah ,Krimonolog
UI stasiun televisi kita menyajikan kekerasan anti sosial ,kekerasan
ringan 18,1%,ancaman dengan senjata tajam 21,3%penganiayaan berat
22,8%,penembakan 18,1%, dan perusakan barang 19,7%. (Mulyono W
Kusumah:1997)
Undang-undang no.27 tahun 1989 tentang sistem pendidkan nasional
menetapakan tujuan pendidikan di Indonesia : “Pendidikan Nasional
betujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya ,yaitu manusia berbudi pekerti yang luhur,memiliki
pengetahuan dan keterampilan,kesehatan jasmani dan rohani,kepribadian
yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.”(Bab II pasal 4 UUSPN)
Jika kita berpedoman kepada undang-undang di atas,kita tidak khawatir
lagi terhadap masa depan generasi mendatang. Mereka yang telah ditempa
di lembaga pendidkan punya kepribadian yang baik,berbudi pekerti
luhur,bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan sikap terpuji lainnya.
Kita akan mendapatkan generasi yang akan memajukan bangsa ini dengan
pola pikir yang positif,usaha-usaha kreatif. Mereka yang telah didik
melalui lembaga pendidikan formal atau non formal adalah bibit yang akan
menghasilakn buah yang bermanfaat.
Kenyataan yang ditemukan di tengah-tengah masyarakat saat
ini,kita direpotkan oleh tingkah laku orang-orang yang terdidik. Mereka
yang telah didik dari SD sampai ke perguruan tinggi justru tidak
mencerminkan tujuan pendidikan yang telah dicantumkan dalam
undang-undang sistem pendidikan itu. Justru banyak yang kontradiktif
dengan tujuan pendidikan itu tingkah lakunya. Korupsi,bebricar
kasar,menghina dan melecehkan orang lain merupakan tingkah laku
keseharian dari sebagian orang yang berpendidikan.
Yang sedang dalam
pendidikan asik dengan tawuran,mabuk,menodong,mengkonsumsi narkoba dan
tindakan negatif lainnya.
Berarti ada yang salah dalam penerapan pendidikan kita. Konsep penddikan
itu tidak salah yang belum tepat itu adalah aplikasinya di lembaga
pendidikan. Kita selama ini berorientasi kepada keberhasilan
pengeatahuan sedangkan pendidikan sikap terabaikan. Jadilah pendidikan
kita hanya mengejar target angka-angka. Untuk lulus ditetapkan
standarnya. Standar ini disamakan dari pusat samapai ke daerah. Daerah
terpencil seperti Papua daerah kepulauaan lainnya harus sama standarnya.
Kita lupa dengan sarana parasarana dan keterbatasan yang ada di daerah
terpencil. Sehingga untuk mencapai standar yang sama antara sekolah yang
ada di Jakarta dengan kepulauan Mentawai dilakukanlah segala cara.
Cara
itu kebanyakan sifatnya tidak edukatif lagi,malah bertentangan dengan
tujuan pendidikan itu sendiri. Hal ini dilakukan untuk menyamakan
standar yang ditetapkan.
Pendidikan kita berorientasi kepada hasil bukan proses. Demi
mendapatkan NEM tinggi kejujuran dikorbankan. Pada hal kejujuran
merupakan sendi utama dalam pendidikan. Demi mencapai standar nasional nilai-nilai moral dikesampingkan. Caranya mungkin bermacam-mqacam seperti yang kita dengar selama ini.
Padahal percaya diri adalah sikap yang harus ditanamkan kepada anak
didik.
Pemerintah sudah punya konsep yang bagus untuk memperbaiki mutu
pendidikan. Yang belum terlaksana lagi adalah aplikasi di lapangan.
Sehingga konsep yang baik yang telah direncanakan secara matang dengan
biaya yang cukup tinggi itu,belum ada pemantauan pelaksanaannya di
lapangan.
Untuk itu sistem perekrutan baik kepala dinas propinsi,kepala dinas
pendidkkan kabupaten/ kota,bahkan sampai pengangkatan kepala sekolah,
mesti orang-orang yang terpilih dan jelas komitmennya terhadap
kelangsungan pendidikan. Kalau kepala dinas pendidikan,terutama di
kabupaten/kota sudah baik,sepak terjangnnya juga akan baik.
Langkah-langkah yang dilakukannya akan mengarah kepada pencapaian
tujuan. Perekrutan kepala sekolah dilakukan dengan benar dan objektif.
Semua lembaga pendidikan yang bekerja dengan hati akan dapat memperbaiki
anak didik yang gersang. Pendidikan akan berubah dari kepentingan
sesaat menjadi kepentingan abadi yaitu memanusiakan manusia. Orang yang
bekerja dengan hati yang tulus dan ikhlas akan mampu memperbaiki anak
didik bagaimanapun keras dan brutalny anak didik.
Daftar Bacaan
De Porte Bobbi & Mike Hernacki,Quantum
Learning(Terjemahan),Kaifa,Bandung,2003
Hawwa Said,Jalan Ruhani,Mizan,Bandung,1995
Mukti,Takdir Ali,(Penyunting),Membangun Moralitas Bangsa,LPPI
Universitas Muhammadiyah,Yogyakarta,1998
Najati,M.Utsman,Belajar EQ dan SQ Dari Sunah Nabi,Hikmah,Jakarta,2003
Nursyam,Fakhruddin,Syarah Lengkap Arbain Ruhiyah, Bina Insani
Press,Solo,2007
Nur,Syafruddin,Pendekatan Kalbu Unsur Utama Keberhasilan
Pendidikan,Harian Singgalang, Padang,1983
Santoso,Slamet Iman,Pendididikan di Indonesia Dari Masa ke Masa,CV Haji
Mas Agung,Jakarta,1987
Suarsono H.Sumarsono,Membangun Kembali Jati Diri Bangsa,Elex Media
Kompotindo,Jakarta,2008
Langganan:
Postingan (Atom)